Saat malam merapat, rumah panggung milik Leo di tepi kampung terasa hidup oleh bunyi kayu beradu dan notifikasi ponsel yang berkejaran. Di sela ritme pahat, ia menatap layar yang menampilkan Mahjong Wins 3, dan kabar wede Rp89 juta sontak menyalakan riuh yang merambat ke beranda. Tetangga menoleh, sebagian tersenyum, sebagian lain mengangguk tipis, seakan memahami momen yang tak saban hari mampir.
Kabar itu cepat menggulung jadi obrolan pendek di tangga rumah, berpadu dengan aroma serbuk kayu yang masih basah. Leo tetap duduk bersila, mengelus permukaan ukiran yang belum selesai, sembari memeriksa detail transaksi di ponselnya supaya tak ada yang terlewat.
Rumah panggung yang biasanya menyimpan sunyi berubah menjadi panggung kecil dengan dentum lantai kayu saat orang bergiliran menanyakan kabar. Nama Mahjong Wins 3 berulang kali disebut, bukan semata karena angka yang besar, melainkan karena datangnya bersamaan dengan bunyi pahat yang menandai rutinitas Leo. Momen itu membuat malam tampak lebih panjang, namun tidak berat.
Di kursi rotan dekat jendela, Leo sesekali menghela napas pendek, memastikan wede telah masuk sesuai angka yang tertulis. Lampu bohlam menggantung goyah tertiup angin; cahayanya menari di dinding yang dipenuhi pola ukiran flora. Di ruang sempit ini, Mahjong Wins 3 hadir sebagai kabar, sementara kerja tangan tetap menjadi pijakan yang membuatnya tidak terlempar euforia.
Obrolan warga mengalir ke beranda depan. Ada yang memberi selamat singkat, ada pula yang mengingatkan agar tetap tenang mengatur arus uang. Beberapa perangkat lingkungan menyarankan agar kabar besar seperti ini disikapi secukupnya, mengingat tidak semua hari membawa hasil serupa. Tanpa perlu sorot panggung, ajakan untuk menjaga privasi terdengar terang.
Di tengah percakapan, seseorang menyinggung pentingnya memisahkan dana harian dari uang yang baru datang. Nada yang muncul bukan mengekang, melainkan mengajak berpikir jernih. Leo mengangguk, menutup layar ponsel dan menyelipkannya di balik kain, pertanda malam perlu diteruskan dengan kepala dingin.
Leo dikenal sebagai tukang ukir yang telaten; garis pisau pada kayunya rapi dan berisi. Di dinding, beberapa karya menunggu lapisan akhir, sebagian lagi siap diantarkan. Rumah panggungnya bukan bangunan megah, namun cukup lapang untuk menampung meja kerja, rak alat, dan satu kursi antik yang diwariskan ayahnya.
Ritme kerja Leo terukur: pagi untuk pola, siang untuk mendalamkan relief, malam untuk merapikan serat. Kabar wede malam itu hadir di antara rutinitas tersebut, layaknya percikan yang singgah tanpa mengubah pijakan. Ia menata kembali alat-alatnya, menutup kaleng pernis, lalu menyapu serbuk kayu agar esok tak terganggu oleh sisa euforia.
Riuh malam tidak berujung pada pesta; ia larut dalam hening yang kembali memulihkan rumah. Mahjong Wins 3 tercatat sebagai bagian dari cerita hari itu, namun bukan satu-satunya alasan orang mengingat Leo. Yang melekat justru sikapnya merawat hasil dengan hati-hati, menyeimbangkan kabar besar dengan pekerjaan yang tetap ia cintai.
Bagi warga, momen ini mengajarkan dua hal: kabar baik bisa datang kapan saja, dan kehati-hatian selalu pantas didahulukan. Rumah panggung kembali tenang, menyisakan jejak tawa yang tipis, dan langkah yang makin mantap untuk hari berikutnya.